Wednesday, June 6, 2007

When will you hold my hand....
May the breath of life reside in your heart...
i
i
When you're near...I feel your fragrant breath...
Like the tune and rhythm...pictured on your life...
Like the memories...portrayed on your mind...
Like the wrists that embrace...
Like the dreams...shown in your eyes...
i
i
The sea in my heart will eliminate all obstacles...
My deep sorrow will drown the vell of my sadness...
Like the secret united in the heartbeats...
Like the falling rain by the clouds...
Like the moon near the sun...
Like the eyebrows near the eyes...
Like the sea near its current...
i
i
My breath...my heartbeats...
They won't feel perfect...
Now...
The full moon's in the sky and I've become perfect...
i
i
Sacrifice for Your love... I get a victory...

Thursday, April 5, 2007

Ketika Derita Mengabadikan Cinta


Suara pembawa acara walimatul ursy itu, menggema di seluruh ruangan resepsi
pernikahan nan mewah... di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran. Apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu, Prof DR Mamduh Hasan Al-Ganzouri.

Hati mereka menanti-nanti. Mungkin akan ada kejutan baru, mengenai
hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf, dari professor yang murah
senyum dan sering nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah
menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.
Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan
berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang
tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung
shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang
kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du.
Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat seperti lazimnya
para ulama, para mubhaligh dan para ustadz.
Namun pada kesempatan kali ini, perkenankan saya bercerita.

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini, bukan fiktif dan bukan pula
cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,
yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya.
Harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan
Allah, bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya.
Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap, kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian.
Serta menghadirkan pula kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke
atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat
di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga
aristokrat terkemuka di Ma'adi. Ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan
Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik
di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Keluarga
besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat dan
kalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini.
Saya merasa terkukung dan terbelenggu.
Saya lebih merasa hidup, justru saat bergaul dengan teman-teman
dari kalangan bawah, yang menghadapi hidup dengan
penuh rintangan dan perjuangan.
Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya,
mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga.

Ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari kakek.
Dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda..
maka kami hidup mewah dengan selera tinggi.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah.
Berkali-kali saya minta pada ayah, untuk menggantikannya dengan
mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman
dan para dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.
Terpaksa saya pakai mobil itu, meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,
saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh
pesona lahir batin.

Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan dan kemuliaan akhlaknya.
Dari keteduhan wajahnya saya menangkap, dalam relung
hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara.
Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan.
Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya.
Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat.
Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci,
yang diridhai Allah. Yaitu ikatan pernikahan.

Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas.
Maka, datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan.
Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati
pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah.
Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub
dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya.
Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian
serta tutur bahasanya yang halus.

Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya
beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah. Beliau membanting gelas
yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum, bahwa pernikahan ini tidak
boleh terjadi selamanya!

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur!
Saya katakan dengan bangga.
Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras, yang telah menunaikan
kewajibannya dengan baik kepada keluarganya.
Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak
dilakukan para bangsawan "Pasha".
Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur
dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak
mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah.
Saya berdiri sendiri. Tidak ada yang membela.
Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya
yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui.
Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya
pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds.
Saya protes kepada mereka,atas ketidak adilan ini.

Kenapa adik saya malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?
Dengan enteng ayah menjawab.
"Karena kamu memilih pasangan hidup dari
strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga.
Sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri,
dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."

Hadirin semua, mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat.
Yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi,
namun yang jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela
cinta dan hidup saya. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
dengan harapan ...beliau berlaku bijak merestui rencana saya.

Namun, la haula wala quwwata illa billah,
saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui
penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah
untuk mengawinkan putrinya dengan saya.
Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras.
Tidak akan mengakui anak lagi dengan alasan membela kehomatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, meratap dan bertanya
kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor
ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.

Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan
akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Kami keluar dari kantor itu resmi sebagai suami isteri yang sah
dimata Allah dan manusia.
Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih,
sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir...
akad nikah kami membuat murka keluarga saya..
Prahara kehidupan menanti di depan mata.
Begitu mencium berita pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah.
Mobil dan segala fasilitas yang ada disita.
Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa.
Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang
sebanyak 4 pound saja!
Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar
ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya.
Lebih tragis lagi, ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian
dan uang sebanyak 2 pound.
Tak lebih!
Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound?
Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan.
Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin.
Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara
campur aduk menjadi satu.
Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca,
bertatapan penuh cinta dan
jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang ,
rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.

"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.
Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar.
Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar.
Suatu ketika merekapun akan tahu bahwa kita benar.
Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda,
selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya.
Lahirlah rasa optimisme untuk hidup.
Rasa takut dan cemas itu sirna seketika.
Apalagi teringat, bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter.
Dan sebagai lulusan terbaik, masing-masing dari kami akan menerima penghargaan
dan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit.
Kami duduk di emperan toko berdua dan hanya mempunyai sisa uang 6 pound.
Saya berhasil menghubungi seorang teman, yang memberi pinjaman
sebanyak 50 pound.
Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.
Kami sadar, bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah.
kami harus mengarunginya berdua .
Tidak ada yang menolong,kecuali cinta, kasih sayang,
dan perjuangan keras kami berdua, disertai rahmat Allah SWT.
Kami dapat mengontrak rumah sederhana di daerah kumuh, berkat
pertolongan teman jua. Segera kami pindah kesana.
Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya.
Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal,
satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali,
kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dapat dikatakan layak itu, kami merasa tetap
bahagia, karena kami selalu bersama.
Adakah di dunia ini kebahagiaan,
melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?
Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta.
Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat?
Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari
semua itu.

Untuk nikmat cinta itu,
Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah, yang berhak
memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an.
Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah,
yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan.
Pada waktu siang, ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan.
Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat.
Dan bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun,
kecuali Allah SWT.
Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari
dan mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam...

Ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor
dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya.
Mereka merusak segala perkakas yang ada.
Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu
juga dengan kursi.
Kasur tempat kami tidur mereka robek-robek.
Mereka memaki kami dengan kata-kata kasar.
Sebelum pergi,mereka mengancaman, "Kalian tak akan hidup tenang,
karena berani menentang Tuan Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu
pangkatnya naik menjadi jendral.
Firasat saya mengatakan, ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang.
Saya mendapat kabar dari seorang teman, bahwa ayah telah merancang
skenario keji untuk memenjarakan isteri saya, dengan tuduhan wanita tuna
susila. 

Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.
Seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau, dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya, agar menceraikan isteri saya.
Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu.
Sebab kalau itu terjadi, pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras
dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan,
sambil meminta beliau sabar,
sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu, untuk terus mengulur waktu,
sampai ayah turun marahnya.
Untunglah beberapa bulan setelah itu,
datanglah saat wajib militer selama satu tahun penuh.
Inilah masa yang saya takutkan.
Tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima, kecuali 6 pound setiap bulan.
Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.

Tetapi Allah tidak melupakan kami.
Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman.
Isteri saya hidup selamat, bahkan dia mendapatkan kesempatan magang
di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.
Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada
kekasih hati.

Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan.
Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih.
Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya.
Saya teringat puisi seorang penyair Palestina, yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia, lepas dari belenggu derita:
Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya

Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa
dan derita.
Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta.
Namun dia ternyata punya pandangan lain.
Dia malah bersikeras untuk masuk program Magister bersama!
"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu.
Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat,
untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk.
Demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan.
Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister
dan menjawab logika yang saya tolak:
"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran
dari Fakultas, sehingga akan mendapatkan keringanan biaya. Kita harus sabar
sebentar menahan derita, untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk
sum-sum penderitaan ini.
Kita sempurnakan prestasi akademis kita dan kita wujudkan mimpi indah kita."
Ia begitu tegas. Matanya yang indah, tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali.
Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh.
Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan
kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki
hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan
kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll.
Nyaris kami hidup sebagai sufi.
Masih terekam dalam memori saya..
Bagaimana kami belajar bersama padasuatu malam,
sampai didera rasa lapar yang tak terperikan. Kami obati dengan air.
Yang terjadi malah kami muntah-muntah.
Terpaksa uang untuk beli buku, kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia.
Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun.
Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,
saya tidak bisa lagi melukiskan bagaimana rasa sayang,
hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah
wajah istri saya yang lagi serius belajar.
Kutatap wajahnya dalam-dalam.
Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan
mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta, dengan
senyumnya yang khas.

Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil
tersenyum.
Kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat di Mesir.
Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja
di sebuah rumah sakit di Kuwait.
Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka,
kami mengenal hidup layak dan tenang.
Kami hidup di rumah yang mewah,
merasakan kembali tidur di kasur empuk
dan kembali mengenal masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis.

Tetapi istriku memang 'edan'.
Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor
Spesialis di London.
Juga dengan logika yang sulit saya tolak:
"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,
dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di
London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya
kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di
negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."
Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar
Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.
Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru
di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya.
Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit,
dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas.
Saya namai dia dengan nama istri terkasih,
belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka,
yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu.
Kami pindah kembali ke Kairo, setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji
di Tanah Haram.

Kami kembali laksana raja dan permaisurinya,
yang pulang dari lawatan keliling dunia.
Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian ...
setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah SWT
dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup.
Jika hadirin sekalian ingin tahu istri salehah yang saya cintai ,
yang mencurahkan cintanya dengan tulus,
tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,
di kala suka dan duka,
maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu,
tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan.

Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan
bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya, yang tampak anggun dengan jilbab biru.
Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya.
Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca..
lelehan air mata haru kedua mempelai, dan
segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.



Wednesday, April 4, 2007

Love and Live

Pernikahan adalah seperti Sekolah - Cinta

Bertahun-tahun yang lalu, saya berdoa kepada Tuhan untuk memberikan saya pasangan, "Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak memintanya", Tuhan menjawab.Tidak hanya saya meminta kepada Tuhan,seraya menjelaskan kriteria pasangan yang saya inginkan. Saya menginginkan pasangan yang baik hati,lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humoris, पेनुperhatian.

Saya bahkan memberikan kriteria pasangan tersebut secara fisik yang selama ini saya impikan. Sejalan dengan berlalunya waktu, saya menambahkan daftar kriteria yang saya inginkan dalam pasangan saya.

Suatu malam, dalam doa, Tuhan berkata dalam hati saya, "HambaKu, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkau inginkan."Saya bertanya, "Mengapa Tuhan?" dan Ia menjawab, "Karena Aku adalah Tuhan dan Aku adalah Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Aku lakukan adalah benar."Aku bertanya lagi, "Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang aku pinta dariMu?" Jawab Tuhan, "Aku akan menjelaskan kepadamu. Adalah suatu ketidakadilan dan ketidakbenaran bagiKu untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagiKu untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar; atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam; atau seseorang yang mudah mengampuni, tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam; seseorang yang sensitif, namun engkau sendiri tidak..."

Kemudian Ia berkata kepada saya, "Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semua itu. Pasanganmu akan berasal dari tulangmu dan dagingmu, dan engkau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu.

Pernikahan adalah seperti sekolah, suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana engkau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid.

Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat bertumbuh bersamamu".

Ini untuk : yang baru saja menikah, yang sudah menikah, yang akan menikah dan yang sedang mencari, khususnya yang sedang mencari.

J I K A........

Jika kamu memancing ikan..... Setelah ikan itu terikat di mata kail, hendaklah kamu mengambil Ikan itu..... Janganlah sesekali kamu lepaskan ia semula ke dalam air begitu saja.... Karena ia akan sakit oleh karena bisanya ketajaman mata kailmu dan mungkin ia akan menderita selagi ia masih hidup.


Begitulah juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang... . Setelah ia mulai menyayangimu hendaklah kamu menjaga hatinya..... Janganlah sesekali kamu meninggalkannya begitu saja...... Karena ia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak dapat melupakan segalanya selagi dia mengingat... ..

Jika kamu menadah air biarlah berpada, jangan terlalu mengharap pada takungannya dan janganlah menganggap ia begitu teguh......cukuplah sekadar keperluanmu. ...... Apabila sekali ia retak tentu sukar untuk kamu menambalnya semula...... Akhirnya ia dibuang..... . Sedangkan jika kamu coba memperbaikinya mungkin ia masih dapat dipergunakan lagi.....

Begitu juga jika kamu memiliki seseorang, terimalah seadanya.... . Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan janganlah kamu menganggapnya begitu istimewa.... . Anggaplah ia manusia biasa. Apabila sekali ia melakukan kesilapan bukan mudah bagi kamu untuk menerimanya. Akhirnya kamu kecewa dan meninggalkannya. Sedangkan jika kamu memaafkannya boleh jadi hubungan kamu akan terus hingga ke akhirnya.... .

Jika kamu telah memiliki sepinggan nasi yang pasti baik untuk dirimu. Mengenyangkan. Berkhasiat. Mengapa kamu berlengah, coba mencari makanan yang lain.... Terlalu ingin mengejar kelezatan. Kelak, nasi itu akan basi dan kamu tidak boleh memakannya. kamu akan menyesal.

Begitu juga jika kamu telah bertemu dengan seorang insan yang membawa kebaikan kepada dirimu. Menyayangimu. Mengasihimu. Mengapa kamu berlengah, coba bandingkannya dengan yang lain. Terlalu mengejar kesempurnaan. Kelak, kamu akan kehilangannya; apabila dia menjadi milik orang Lain kamu juga akan menyesal.

Friday, March 30, 2007

Wanita Bagi Pahlawan....

Di balik setiap pahlawan besar selalu ada seorang wanita agung. Begitu kata papatah Arab.Wanita agung itu biasanya satu dari dua, atau dua-duanya sekaligus; sang ibu dan atau sang istri.Pepatah itu merupakan hikmah psiko-sejarah yang menjelaskan sebagian dari latar belakang kebesaran seorang pahlawan. Bahwa karya-karya besar seorang pahlawan lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya bersinergi dengan momentum di luar dirinya; tumpah ruah bagai banjir besar yang tidak terbendung. Dan tiba-tiba sebuah sosok telah hadir dalam ruang sejarah dengan tenang dan ajek.Apa yang dijelaskan oleh hikmah psiko-sejarah itu adalah sumber energi para pahlawan; wanita adalah salah satunya.

Wanita bagi banyak pahlawan adalah penyangga spiritual, sandaran emosional; dari sana mereka mendapatkan ketenangan dan gairah, kenyamanan dan keberanian, keamanan dan kekuatan.Laki-laki menumpahkan energinya di luar rumah, dan mengumpulkannya kembali dari dalam rumahnya.Kekuatan besar yang dimiliki para wanita yang mendampingi para pahlawan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Kekuatan itu sering dilukiskan seperti dermaga tempat kita menambat kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir berteduh.

Tapi kekuatan emosi itu sesungguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman, tempat kita menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan kita, tempat kita bermain dengan lugu dan riang, saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman, saat kita merasa bukan siapa-siapa, saat kita menjadi bocah besar.Karena di tempat dan saat seperti itulah para pahlawan menyedot energi jiwa mereka.Itu sebabnya Umar bin Khattab mengatakan,"Jadilah engkau bocah didepan istrimu, tapi berubalah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu".

Kekanakan dan keperkasaan, kepolosan dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan saat berkarya, adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna menciptakan keseimbangan emosional dalam diri pahlawan."Saya selamanya ingin menjadi bocah besar polos," kata Sayyid Quthub. Para pahlawan selalu mengenang saat-saat indah ketika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan selamanya ingin begitu dalam pangkuan istrinya.Siapakah yang pertama kali ditemuai Rasulullah setelah menerima wahyu dan merakan ketakutan yang luar biasa? Khadijah! Maka ketika beliau mengatakan;" Dan siapakah wanita yang sanggup menggantikan peran Khadijah?"Itulah keajaiban dari kesederhanaan.Kesederhanaan yang sebenarnya adalah keagungan; kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Itulah keajaiban wanita.

Thursday, March 29, 2007

Kemarahan dalam Sebuah Perenungan

Dari seorang teman.....

> Buat Yang Udah Nikah, Mau Nikah, Punya Niat Untuk Nikah,....Sebarkan kepada orang2 yang anda kenal........mudah2an bermanfaat.

Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata: "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya !" Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah berdusta. Yang jelas kita perlu menikmati saat-saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat saat tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah, betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi. Tulisan ini murni non politik, jadi tolong jangan tergesa-gesa membacanya. Bacalah dengan sabar, lalu renungi dengan baik, setelah itu...terapkan dalam keseharian kita.......setuju ???.....

Suatu ketika seseorang berbincang dengan orang yang akan menjadi teman hidupnya, dan salah satunya bertanya; apakah ia bersedia berbagi masa depan dengannya, dan jawabannya tepat seperti yang diharap. Mereka mulai membicarakan : seperti apa suasana rumah tangga ke depan. Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala mereka bertengkar. Dari beberapa perbincangan hingga waktu yang mematangkannya, tibalah mereka pada sebuah Memorandum of Understanding, bahwa kalaupun harus bertengkar, maka :

1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama'ah
Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama'ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera ia berkata "STOP" ini giliran saya ! Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati : "kamu makin cantik kalau marah,makin energik ..." Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi... "duh kekasih .. bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu ...." Demikian juga kalau pas kena giliran saya "yang olah raga otot muka", saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya :) Maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah. pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjama'ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama'ah selain marah :)

2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa (maksudnya masa lalu kita)
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan dan bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan ia marah,maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras". Tapi bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya,minggu lalu,awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah,maka itu adalah "harapan ingin disayangi lebih tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin dantiga hari lewat,plus tuduhan "Sudah tidak suka lagi ya dengan saya", maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya. Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah ... OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini .....

3. Kalau marah jangan bawa-bawa keluarga
Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpantik marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba coba. Begitupun dia, semenjaksaya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke kancah "awal cinta yang panas ini". Kata ayah saya : "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak". Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma'afnya dari pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya..". Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!

4. Kalau marah jangan di depan anak-anak
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orang tua nya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu 'kan bapak saya. Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
* Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!">
* Bapak : "Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda ????!!!!
* Anak : "...... Yaaa ...ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus saya ini apa ?"

Kita harus berani berkata : "Hentikan pertengkaran !" ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata bahasa hati kita ???

5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat
Pada setiap tahiyyat dalam shalat kita berkata : "Assalaa-mu 'alaynaa wa'alaa'ibaadilahissholiihiin" Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba hambamu yg sholeh .... Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustai Nya, padahal nyawamu ditangan Nya. OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi .... Marahlah habis shubuh, tapi jangan lewat waktu dzuhur, Atau maghrib sebatas isya ... Atau habis isya sebatas....??? Nnngg .. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak bertengkar ... :)

6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema'afkan
Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah "proses belajar untuk mencintai lebih intens" Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki. Ini saja, semoga bermanfa'at, "Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia dibatasi".

*Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar tapi bodoh*

Wednesday, March 28, 2007

Cinta dan Benci

Sering tak disadari, kita berpikir hampir selalu dalam dikotomi...
Salah vs benar
baik vs buruk
laki vs wanita
gelap vs terang
siang vs malam
on vs off
termasuk Cinta vs Benci...

kadang kita menganggap itulah lawan kata dari yang sebelumnya...
tapi benarkah demikian?
benarkah salah selalu berlawanan dengan benar?
benarkan baik selalu berlawanan dengan buruk?
benarkah laki selalu berlawanan dengan wanita?
benarkah gelap selalu berlawanan dengan terang?
benarkah siang selalu berlawanan dengan malam?
benarkah cinta selalu berlawanan dengan benci?

Benarkah lawan dari CINTA itu adalah BENCI?

Ketika seseorang seringsekali bercerita tentang kebenciannya pada sesuatu, apakah itu benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak cinta?

salah seorang tokoh besar, Fariduddin al Attar pernah bercerita, bahwa ada seorang tokoh (?) yang berkunjung ke tempat Robi'ah al adawiyah, ulama besar ahli mahabbah,
si tamu tersebut selama berada di tempat robiah yang diceritakan adalah betapa jeleknya dunia itu, betapa buruknya dunia itu, betapa menipunya dunia itu, dan betapa ia bencinya dunia itu.
Robi'ah tersenyum...
dan ketika si tamu itu berlalu, Sofyan At Tsauri, sahabat Robiah yang juga sedang berkunjung ke situ bertanya pada Robiah,"Benarkah orang itu benci kepada dunia?"
Robiah tersenyum dan berkata,"Bagaimana mungkin dia membenci dunia? yang ada di pikiran dan perasaannya hanyalah terisi dengan dunia dan urusannya"

Dzunnun al Mishri, satu waktu di datangi salah seorang muridnya,"ya Guru, kata muridnya, aku sudah beribadah kepada Tuhan selama 30 tahun yang menurutku aku juga sungguh2. Siang puasa, malah tahajud dan selain amalan wajib, yang sunnah2 juga aku kerjakan. tapi bukannya aku tidak puas dengan keadaanku, tetapi mengapakah tidak ada sedikitpun tanda2 yang datang dari Tuhan tentang apa yang telah aku lakukan ini?"
Dzunnun menjawab,"kalau begitu, nanti malam kamu makan yang banyak, dan jangan sholat isya"
Si murid agak heran juga mendengar saran gurunya, tapi ia mengangguk dan pulang.
Keesokan harinya, ia datang ke Dzunnun dan bercerita,
"Alhamdulillah guru, semalem saya mendapatkan tanda itu dari Allah swt, aku sudah menuruti saran guru untuk makan yang banyak, tetapi aku tidak tega untuk meninggalkan sholat wajib isya. Kemudian malam harinya, aku bermimpi di datangi oleh Rosulullah saw dan beliau bersabda,"wahai fulan, tenangkan hatimu, Allah mendengar, melihat dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. Bersabarlah dan ikhlaslah." dalam mimpi itu saya mengangguk, kemudian Rosulullah saw bersabda lagi,"Dan sampaikan pada Dzunnun Al Mishri bahwa Allah berpesan agar ia jangan menyarankan muridnya untuk tidak sholat isya"

Mendengar itu Dzunnun tertawa sampai keluar air matanya..
kemudian ia berkata,
"Jika kamu tidak bisa mendekatiNya melalui Kasih SayangNya, maka dekatilah ia melalui rasa marahNya"

Dan baru saja kemaren saya tertegun ketika membaca buku "Secret of Power Negotiating", di dalam buku itu, Roger Dawson menulis,"apakah lawan CINTA itu adalah BENCI ??" , Tidak !! katanya, Lawan CINTA itu adalah KETIDAKPEDULIAN...

Bagi seorang Pecinta, kebencian dari sang kekasih itu lebih berharga dari pada KETIDAKPEDULIAN dari yang dicintainya...

Seseorang bersyair..
"ya kekasih...dari pada engkau memalingkan wajahmu dariku, lebih baik, sakiti aku dan marahi aku dan bencilah aku...itu lebih baik..sebab kemarahanmu, dan kebencianmu, itu adalah salah satu bentuk kepedulianmu kepadaku"

hati seorang pecinta..
lebih memerlukan kepedulian dari yang dicintai..
dari pada ketidak peduliannya..
baikpun kepedulian itu berwujud kasih sayang yang dicintainya...
ataupun kepedulian itu berwujud amarah dan bencinya...

"KETIDAKPEDULIAN adalah lawan dari CINTA"